Heyyoyo.com – Portal Teknologi, Review, Otomotif, Finansial JAKARTA. Kebijakan Menteri Keuangan mengucurkan dana sebesar Rp 200 triliun ke sektor perbankan nasional, terutama bank-bank emiten Danantara, kini menjadi sorotan tajam. Langkah strategis ini dinilai bak pedang bermata dua, menawarkan potensi penguatan likuiditas yang signifikan namun di sisi lain juga menyimpan risiko yang perlu dicermati oleh pelaku pasar dan investor.
Dana jumbo ini, yang merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memperkuat likuiditas perbankan, diatur melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 276/2025 yang diterbitkan oleh Menkeu Purbaya. Skemanya berupa On Call Deposit dengan tingkat bunga 3,8% — sekitar 80% dari suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang saat ini berada di level 4,75% — dan memiliki tenor enam bulan yang dapat diperpanjang. Suntikan modal ini didistribusikan secara spesifik ke sejumlah bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN): PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) masing-masing menerima Rp 55 triliun; PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) mendapatkan Rp 25 triliun; serta PT Bank Syariah Indonesia (BRIS) sejumlah Rp 10 triliun.
Pemerintah secara tegas mewajibkan bank untuk menyalurkan dana ini dalam bentuk kredit dan melarang penggunaannya untuk membeli obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN). Hal ini bertujuan untuk memperkuat upaya bank emiten Danantara dalam mendorong pertumbuhan kredit produktif. Namun, para analis pasar modal melihat kebijakan ini tidak luput dari tantangan. Head of Research Samuel Sekuritas Indonesia, Prasetya Gunadi, menyoroti bahwa efektivitas penyaluran dana Rp 200 triliun ini sangat bergantung pada kualitas penyaluran kredit dan distribusi sektoralnya, terutama ke segmen UMKM dan sektor-sektor prioritas.
Prasetya juga mencermati bahwa dengan tenor hanya enam bulan (meskipun dapat diperpanjang) dan lemahnya permintaan kredit dari korporasi maupun rumah tangga, ekspansi kredit jangka pendek kemungkinan akan tetap terbatas. Jika penyaluran kredit tertahan, bank justru berisiko menanggung beban bunga yang lebih tinggi dari penempatan deposito ini, yang pada akhirnya dapat menekan Net Interest Margin (NIM) mereka. Dorongan agresif untuk menyalurkan kredit, terutama ke UMKM yang momentum pertumbuhannya masih lambat, juga berpotensi meningkatkan risiko penurunan kualitas aset, yang berujung pada kenaikan Non-Performing Loan (NPL) dan penurunan margin dalam jangka panjang. Senada, Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia, Miftahul Khaer, mengingatkan agar tambahan dana ini disalurkan secara hati-hati. Ia menegaskan, “Dorongan agresif tanpa diimbangi kualitas debitur berpotensi meningkatkan risiko aset bermasalah.”
Analis BRI Danareksa Sekuritas, Victor Stefano, dalam risetnya pada 15 September 2025, turut sependapat. Ia menilai, risiko terhadap NIM dan kualitas aset dapat meningkat, terutama jika pertumbuhan ekonomi tetap stagnan pasca-stimulus. Victor juga menyoroti larangan pembelian SBN dari kucuran dana ini, yang menurutnya “implementasinya tak akan mudah.” Pasalnya, tambahan likuiditas ini memang memungkinkan bank menyalurkan kredit baru, namun dana yang semula dialokasikan untuk kredit jatuh tempo bisa saja dialihkan ke SBN. Lebih lanjut, jika bank didorong untuk memacu pertumbuhan kredit terlalu cepat, mereka perlu meningkatkan risk appetite, di mana hal ini juga berpotensi meningkatkan risiko menurunnya kualitas aset. Dalam skenario ini, NIM juga berpotensi mengalami penurunan tipis, kecuali untuk BBTN yang memiliki biaya dana (Cost of Fund/CoF) lebih tinggi dari 4%.
Di sisi lain, kebijakan ini juga membawa dampak positif. Victor Stefano melihat kebijakan ini dapat positif bagi CoF jika tidak ada kewajiban untuk mencapai target kredit tertentu. Dalam analisisnya, CoF dapat turun 1–13 basis poin (bps), dengan BBTN menjadi yang paling diuntungkan “mengingat suku bunga deposito berjangka BBTN yang relatif tinggi.” Bahkan, jika bank dapat mengganti deposito mahal (misalnya, di level 6,5%) dengan dana ini, CoF dapat turun sebesar 8–16 bps. Dalam hal ini, Victor mencatat, BBNI dan BBTN berpotensi menjadi penerima manfaat terbesar lantaran porsi dana negara yang signifikan dibanding total deposito mereka. Senada, Prasetya juga berpendapat bahwa manfaat terbesar akan dirasakan oleh bank yang sangat bergantung pada deposito berjangka mahal seperti BBNI, BBRI, dan BBTN, sebab penempatan likuiditas ini memungkinkan repricing deposito yang lebih efisien. Kendati demikian, Prasetya menilai, secara keseluruhan CoF masih bisa naik sekitar 3 bps.
Secara sektoral, Prasetya memperkirakan Loan to Deposit Ratio (LDR) akan membaik sekitar 420 bps menjadi rata-rata 92,6%, “sehingga, hal ini dapat memberikan ruang tambahan dalam neraca untuk pertumbuhan kredit.” Sementara itu, menurut Miftahul, BBRI dan BMRI menjadi yang paling prospektif, didukung profil likuiditas dan kualitas asetnya yang relatif lebih terjaga. “Sedangkan BBTN perlu lebih aware, mengingat fokus bisnisnya di KPR yang sensitif terhadap fluktuasi suku bunga,” katanya.
Sebagai katalis tambahan, pemangkasan suku bunga acuan BI ke level 4,75% pada hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI 16–17 September lalu juga menjadi sentimen positif lainnya bagi emiten bank. Miftahul melanjutkan, “Penurunan suku bunga berpotensi mendorong CoF yang lebih ringan ke depannya.” Prasetya menambahkan, pemangkasan suku bunga BI sebesar 50 bps dalam sebulan terakhir menjadi katalis jangka pendek–menengah bagi pertumbuhan kredit, terutama pada segmen korporasi dan UMKM, karena penurunan bunga pinjaman dapat memicu permintaan refinancing.
Memandang risiko pada NIM dan kualitas aset yang masih signifikan, Prasetya dari Samuel Sekuritas menaikkan rating sektor bank ke Netral dari sebelumnya Underweight. Ia menjagokan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), didukung oleh biaya kredit (Cost of Credit/CoC) yang rendah di level 0,5%, dan menyarankan beli BBCA dengan bidikan harga Rp 9.600 per saham, serta beli BBRI dengan target harga Rp 5.000 per saham. Victor Stefano juga memberikan peringkat Netral untuk sektor dan merekomendasikan beli BBCA sebagai pilihan utama, dengan target harga Rp 11.900 per saham, dan menyarankan beli BMRI dengan target harga Rp 5.900 per saham. Sementara itu, Miftahul Khaer merekomendasikan accumulate buy BBRI dan BMRI dengan target harga masing-masing Rp 4.720 dan Rp 6.300 per saham.
Sebagai penutup, Miftahul mengingatkan bahwa “investor patut memantau arah kebijakan moneter lanjutan, kualitas pertumbuhan kredit, serta tren dana pihak ketiga di tengah persaingan ketat perbankan.”
Ringkasan
Kementerian Keuangan mengucurkan dana sebesar Rp 200 triliun ke perbankan nasional, khususnya bank-bank BUMN seperti BBRI, BMRI, BBNI, BBTN, dan BRIS. Dana ini disalurkan melalui skema On Call Deposit dengan bunga 3,8% dan tenor enam bulan, serta wajib digunakan untuk kredit produktif dan dilarang untuk membeli obligasi. Kebijakan ini, yang bertujuan memperkuat likuiditas, dinilai memiliki potensi penguatan signifikan namun juga menyimpan risiko yang perlu dicermati oleh pelaku pasar.
Analis pasar modal melihat tantangan seperti efektivitas penyaluran kredit, risiko tekanan pada Net Interest Margin (NIM) jika kredit tersalur lambat, dan potensi peningkatan Non-Performing Loan (NPL) jika pertumbuhan kredit terlalu agresif. Di sisi lain, kebijakan ini juga dapat menurunkan Cost of Fund (CoF) bagi bank tertentu dan memperbaiki Loan to Deposit Ratio (LDR). Sejalan dengan pemangkasan suku bunga BI, beberapa analis merekomendasikan “Netral” untuk sektor perbankan, dengan saham seperti BBCA, BBRI, dan BMRI menjadi pilihan utama.





