JAKARTA – Laju inflasi Amerika Serikat (AS) kembali mengejutkan pasar dengan peningkatannya di atas konsensus pada Agustus 2025, sekaligus mencatatkan rekor kenaikan tertinggi sejak awal tahun. Ini mengindikasikan tekanan harga yang masih persisten, menciptakan dilema bagi pembuat kebijakan moneter di Washington.
Menurut laporan terbaru dari Biro Statistik Tenaga Kerja (BLS), Indeks Harga Konsumen (CPI) naik 0,4% pada Agustus 2025 dibandingkan bulan sebelumnya (month to month/MTM). Angka ini lebih tinggi dari kenaikan 0,2% pada bulan sebelumnya dan sedikit melampaui ekspektasi para ekonom. Secara tahunan, inflasi AS mencapai 2,9%, level tertinggi sejak Januari, meningkat dari 2,7% pada Juli.
Di sisi lain, inflasi inti AS, yang tidak memasukkan komponen pangan dan energi yang volatil, juga menunjukkan kenaikan signifikan. Angka tersebut naik 0,3% secara MTM, menjadi laju tertinggi sejak Mei 2023. Kenaikan ini terutama dipicu oleh lonjakan harga mobil baru dan bekas, pakaian, serta peralatan rumah tangga, mencerminkan adanya tekanan pada berbagai sektor ekonomi.
Beberapa ekonom menilai fenomena ini merupakan dampak langsung dari tarif impor global yang diberlakukan oleh Presiden Donald Trump. Namun, analis lain menyoroti peningkatan tajam pada harga jasa perjalanan seperti tiket pesawat dan tarif hotel sebagai kontributor utama. Selain itu, biaya kebutuhan rumah tangga esensial seperti bahan makanan, bensin, listrik, dan perbaikan mobil juga turut melambung.
Biaya perumahan, yang merupakan kategori terbesar dalam kelompok jasa, terus menjadi pendorong utama inflasi selama beberapa tahun terakhir. Harga tempat tinggal naik 0,4%, menandai kenaikan tertinggi sejak awal tahun. Ini merefleksikan lonjakan biaya sewa serta kenaikan tarif hotel terbesar sejak November, menegaskan bahwa tekanan harga tidak hanya terjadi pada barang, tetapi juga pada sektor jasa inti.
Laporan ini dengan tegas menunjukkan bahwa inflasi masih “membandel” atau sulit dikendalikan. Tarif global Trump diyakini telah mendorong harga beberapa barang, sementara kenaikan biaya jasa berpotensi memberikan tekanan yang lebih persisten terhadap laju inflasi secara keseluruhan. Situasi ini menempatkan Federal Reserve (The Fed) dalam posisi yang menantang.
Meskipun demikian, The Fed diperkirakan akan memangkas suku bunga untuk pertama kalinya tahun ini pada rapat kebijakan pekan depan, menyusul serangkaian data pasar tenaga kerja yang menunjukkan pelemahan. Namun, inflasi yang tetap tinggi berpotensi mempersulit ruang penurunan suku bunga lebih lanjut pada pertemuan-pertemuan berikutnya, menciptakan dilema antara mendukung pertumbuhan ekonomi dan mengendalikan harga.
Kepala Ekonom AS di BMO Capital Markets, Scott Anderson, berpendapat bahwa data inflasi AS terbaru ini belum cukup untuk menghentikan The Fed dari memulai proses pelonggaran moneter. Namun, ia juga memperingatkan akan sifat inflasi yang masih persisten. “Saya tidak melihat ada hal dalam laporan ini yang akan menghentikan The Fed untuk memulai kembali proses pelonggaran. Namun, kisah inflasi ini belum berakhir,” ujarnya, seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (12/9/2025).
Data Ketenagakerjaan
Para pelaku pasar semakin yakin bahwa The Fed akan memulai pemangkasan suku bunga bulan ini setelah rilis data ketenagakerjaan AS yang menunjukkan pelemahan signifikan. BLS dalam revisi tahunan sementara atas data ketenagakerjaan mengungkapkan bahwa perekonomian AS menciptakan 911.000 lapangan kerja lebih sedikit dalam 12 bulan hingga Maret dibandingkan estimasi awal.
Pelemahan ini memperkuat keyakinan pasar bahwa The Fed akan kembali memangkas suku bunga acuan jangka pendek pekan depan dan melanjutkan pelonggaran moneter hingga akhir tahun. Langkah ini diharapkan dapat menopang pasar tenaga kerja yang mulai melemah, bahkan sebelum Presiden Donald Trump memberlakukan kenaikan tarif secara agresif. “Ditambah dengan data tenaga kerja terbaru yang mencatat perlambatan lebih lanjut, laporan tersebut memberi The Fed alasan tambahan untuk memangkas suku bunga pekan depan,” tambah Ekonom BMO, Sal Guatieri, seperti dikutip dari Reuters.
Situasi ini juga memperkuat prospek pemangkasan suku bunga lebih banyak hingga akhir tahun, melebihi proyeksi dua kali pemangkasan yang sebelumnya disampaikan oleh para pembuat kebijakan The Fed pada Juni lalu. Pascarilis data, pelaku pasar tetap mempertahankan ekspektasi bahwa The Fed akan memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin dari level saat ini 4,25%–4,50% pada pertemuan 16–17 September mendatang, serta langkah serupa pada pertemuan Oktober.
Adapun ekspektasi pasar terhadap pemangkasan ketiga pada Desember masih lebih besar dibandingkan potensi jeda. Namun, investor sedikit memangkas taruhan untuk Desember dan lebih jauh ke 2026, dengan probabilitas pemangkasan keempat pada Januari turun menjadi di bawah 40% dari sebelumnya hampir 50%, menunjukkan sedikit kehati-hatian meskipun ekspektasi pelonggaran moneter tetap dominan.
Ringkasan
Laju inflasi Amerika Serikat (AS) secara tak terduga kembali meningkat pada Agustus 2025, mencapai 2,9% secara tahunan dan menjadi yang tertinggi sejak Januari. Indeks Harga Konsumen (CPI) naik 0,4% secara bulanan, melebihi konsensus, dengan inflasi inti juga menunjukkan kenaikan signifikan. Kenaikan ini dipicu oleh lonjakan harga mobil, pakaian, jasa perjalanan, kebutuhan rumah tangga, dan biaya perumahan, mengindikasikan tekanan harga yang persisten.
Situasi ini menciptakan dilema bagi Federal Reserve (The Fed) meskipun ada sinyal pelemahan pasar tenaga kerja yang memperkuat prospek pemangkasan suku bunga. Pasar memperkirakan The Fed akan memangkas suku bunga acuan 25 basis poin pada September dan Oktober. Namun, inflasi yang tetap tinggi berpotensi mempersulit pelonggaran moneter lebih lanjut, menegaskan bahwa tantangan inflasi belum berakhir.