Bank Indonesia (BI) telah mengambil langkah progresif sepanjang tahun 2025 dengan memangkas suku bunga acuannya secara signifikan, mencapai total 125 basis poin (bps). Keputusan ini dilatari oleh pertimbangan adanya ruang pelonggaran kebijakan moneter yang masih terbuka lebar, serta kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dinilai masih berada di bawah potensinya.
Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede, menjelaskan bahwa alasan utama di balik pelonggaran ini adalah tingkat inflasi yang tetap rendah dan terkendali. Inflasi indeks harga konsumen (IHK) berada pada 2,31 persen, dengan inflasi inti tercatat 2,17 persen, keduanya stabil dalam sasaran BI sebesar 2,5 plus-minus 1 persen. Proyeksi menunjukkan inflasi akan tetap berada dalam target yang ditetapkan, baik untuk tahun berjalan maupun tahun depan.
Stabilitas nilai tukar rupiah juga menjadi fondasi kuat yang mendukung kebijakan ini. Dengan cadangan devisa (cadev) yang besar dan kebijakan stabilisasi aktif dari BI, nilai tukar rupiah relatif terjaga. Josua menegaskan, “Dengan pondasi ini, pemangkasan suku bunga berulang lebih aman dilakukan dibandingkan bila inflasi tinggi atau rupiah dalam tekanan.”
Namun demikian, ada tantangan yang masih harus dihadapi. Permintaan domestik belum sepenuhnya pulih, yang terlihat dari melemahnya keyakinan konsumen di segmen menengah ke bawah, keterbatasan dalam penciptaan lapangan kerja, serta sikap ‘wait and see’ yang masih dominan di kalangan pelaku usaha. Akibatnya, kredit perbankan belum tumbuh sesuai dengan ekspektasi.
Fakta menarik lainnya adalah dana kredit yang telah disetujui tetapi belum dicairkan (undisbursed loan) masih cukup tinggi. Situasi ini mengindikasikan bahwa kendala utama bukan pada ketersediaan pembiayaan, melainkan pada tingginya biaya dana (cost of fund) dan rendahnya minat investasi di pasar.
Dalam kondisi demikian, Josua menilai penurunan suku bunga adalah langkah yang tepat untuk menekan biaya dana, sekaligus menggerakkan kembali penyaluran kredit dan pembiayaan. Pemangkasan suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bps, misalnya, dirancang untuk mempercepat transmisi penurunan suku bunga ke sektor perbankan. BI sendiri mencatat bahwa penurunan suku bunga perbankan masih berjalan terlalu lambat; suku bunga deposito 1 bulan baru turun sekitar 16 bps, dan suku bunga kredit hanya turun 7 bps, meskipun suku bunga kebijakan BI, imbal hasil surat berharga negara (SBN), dan suku bunga pasar uang telah menurun secara signifikan.
Dengan menurunkan batas bawah suku bunga melalui Deposit Facility, diharapkan insentif bank untuk memberikan bunga simpanan tinggi akan berkurang, dan praktik pemberian bunga spesial untuk deposan besar pun akan menyempit, sehingga biaya dana bank dapat turun lebih cepat. Kebijakan ini juga didukung oleh pelonggaran likuiditas melalui penurunan posisi instrumen moneter dan pembelian SBN secara terukur, guna memastikan bank tetap memiliki likuiditas yang memadai saat menurunkan bunga.
Meski demikian, Josua Pardede mengingatkan bahwa kehati-hatian tetap diperlukan karena terdapat tiga potensi risiko. Pertama, tekanan harga pangan yang timbul dari gangguan pasokan atau peningkatan permintaan dapat mengurangi ruang pelonggaran moneter. Kedua, dorongan fiskal yang pro-pertumbuhan, termasuk penempatan dana pemerintah di bank untuk memperkuat likuiditas, berpotensi menambah tekanan harga jika tidak diimbangi dengan peningkatan pasokan barang dan jasa, meskipun dampaknya terhadap inflasi diperkirakan masih terbatas. Ketiga, ketidakpastian regulasi di sektor keuangan juga dapat memengaruhi persepsi pasar dan arus modal. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih tepat bukanlah pelonggaran yang agresif, melainkan penyesuaian bertahap dengan mempertimbangkan stabilitas nilai tukar dan dinamika inflasi aktual.
Dengan demikian, Josua memandang penurunan BI rate adalah keputusan yang sesuai dengan kondisi ekonomi saat ini. Langkah ini diharapkan dapat membantu menurunkan biaya dana, mempercepat penurunan suku bunga kredit, serta mendorong pemulihan konsumsi dan investasi. Ke depan, konsistensi BI dalam menjaga stabilitas rupiah, kelanjutan kebijakan operasi moneter yang pro-pasar, dan sinergi yang kuat dengan kebijakan fiskal menjadi kunci penting agar manfaat pemangkasan suku bunga ini benar-benar mengalir ke sektor usaha dan rumah tangga, tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi yang telah dibangun.
Di sisi lain, pertumbuhan kredit perbankan perlu terus didorong untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan bahwa BI memastikan ketahanan perbankan tetap kuat dan mendukung stabilitas sistem keuangan. Perry mengakui bahwa kredit perbankan pada Agustus 2025 belum menunjukkan kekuatan yang penuh, meskipun terjadi peningkatan dari 7,03 persen Year-on-Year (YoY) pada Juli 2025 menjadi 7,56 persen YoY pada Agustus 2025.
Dari sisi permintaan, Perry menjelaskan bahwa belum kuatnya perkembangan kredit dipengaruhi oleh sikap ‘wait and see’ dari pelaku usaha, tingkat suku bunga kredit yang masih tinggi, serta preferensi pelaku usaha untuk memanfaatkan dana internal mereka sendiri untuk pembiayaan usahanya. Perkembangan ini mengakibatkan fasilitas pinjaman yang belum dicairkan (undisbursed loan) masih cukup besar, mencapai Rp 2.372,11 triliun atau 22,71 persen dari total plafon kredit yang tersedia. Rasio undisbursed loan terbesar terutama ditemukan pada sektor industri, pertambangan, jasa dunia usaha, dan perdagangan, mayoritas untuk jenis kredit modal kerja.
Adapun dari sisi penawaran, kenaikan kredit didukung oleh longgarnya likuiditas perbankan. Hal ini tercermin dari tingginya Rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang mencapai 27,25 persen pada Agustus 2025, sejalan dengan ekspansi likuiditas moneter dan kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) BI. “Namun demikian, tingginya suku bunga kredit masih menjadi salah satu faktor penahan peningkatan kredit/pembiayaan lebih lanjut untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi,” ungkap Perry.
Oleh karena itu, Perry terus mendorong bank-bank untuk aktif menyalurkan kredit/pembiayaan. Secara keseluruhan, BI memprakirakan pertumbuhan kredit perbankan pada tahun 2025 akan berada di kisaran 8-11 persen. BI juga mencatat bahwa permodalan perbankan terjaga pada level tinggi, dengan rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) sebesar 25,88 persen pada Juli 2025, yang dinilai masih sangat mampu untuk menyerap risiko.
Rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) perbankan juga tetap terjaga rendah, yaitu 2,28 persen (bruto) dan 0,86 persen (neto) pada Juli 2025. “Hasil stress test Bank Indonesia juga menunjukkan ketahanan perbankan tetap kuat, ditopang oleh kemampuan membayar dan profitabilitas korporasi yang terjaga,” pungkas Perry.
Ringkasan
Bank Indonesia (BI) telah memangkas suku bunga acuannya total 125 basis poin sepanjang tahun 2025. Keputusan ini didasari oleh inflasi yang rendah dan terkendali, stabilitas nilai tukar rupiah, serta pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih di bawah potensinya. Langkah ini bertujuan untuk menekan biaya dana perbankan, mempercepat transmisi penurunan suku bunga kredit, serta mendorong kembali penyaluran kredit dan minat investasi.
Meskipun demikian, pertumbuhan kredit perbankan belum optimal karena permintaan domestik yang lemah, sikap ‘wait and see’ pelaku usaha, serta tingginya ‘cost of fund’, yang terlihat dari besarnya undisbursed loan. BI terus mendorong bank untuk aktif menyalurkan kredit dan memproyeksikan pertumbuhan 8-11% di tahun 2025. Perbankan nasional dinilai tangguh dengan permodalan tinggi dan rasio kredit bermasalah (NPL) yang rendah, namun kehati-hatian tetap diperlukan terhadap risiko seperti tekanan harga pangan.





