Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa secara tegas memaparkan strategi pemerintah untuk menekan subsidi listrik yang terus membengkak, dengan fokus utama pada pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) serta pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang lebih efisien. Langkah ini diambil untuk memastikan masyarakat tidak terbebani oleh kenaikan tarif.
Dalam sebuah kesempatan seusai rapat dengan Presiden pada Jumat malam, 19 September 2025, Purbaya mengungkapkan diskusi intensif di Hambalang terkait program pengurangan subsidi listrik melalui PLTS Surya. “Namun, harga produksinya saat ini masih agak tinggi,” jelasnya, seperti dikutip dari Antara. Ia menambahkan, pemerintah kini tengah giat mencari inovasi teknologi untuk menekan biaya produksi agar mendekati harga listrik yang berlaku saat ini, sehingga potensi subsidi dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan sepenuhnya.
Purbaya menggarisbawahi bahwa tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk menghindari kenaikan tarif listrik bagi masyarakat. “Jika subsidi berkurang, bukan berarti harga listrik dinaikkan, melainkan kita harus menemukan sumber listrik yang biayanya lebih terjangkau,” tegasnya. Ia juga menampik anggapan bahwa pemerintah sengaja menghembuskan isu kenaikan tarif, menekankan komitmen untuk mencari solusi berkelanjutan.
Meski demikian, proses pemangkasan subsidi listrik melalui pemanfaatan energi baru terbarukan ini tidak dapat dilakukan secara instan. Purbaya menjelaskan, pada tahap awal, pemerintah akan fokus pada perhitungan kebutuhan investasi yang cermat untuk memastikan teknologi PLTS, termasuk produksi baterai dan panel surya di dalam negeri, benar-benar mencapai tingkat efisiensi yang diharapkan.
“Idealnya, kami ingin subsidi listrik ini hilang sepenuhnya, namun ini bukan perkara mudah,” ungkap Purbaya. Ia mengakui telah melihat beberapa desain PLTS yang sangat menjanjikan, namun perhitungan detailnya masih belum tuntas dan memerlukan pengkajian lebih lanjut.
Selanjutnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama kementerian terkait akan bertugas menentukan jadwal implementasi. Purbaya optimis bahwa setiap kebijakan yang mengarah pada penyediaan listrik yang lebih murah dan berkelanjutan akan secara signifikan berkontribusi dalam menjaga daya beli masyarakat.
Di sisi lain, fakta menunjukkan bahwa alokasi subsidi listrik justru mengalami peningkatan. Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Komisi XII DPR telah menyepakati Asumsi Dasar Sektor ESDM dalam Rencana Anggaran dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2026. Angka subsidi listrik pada tahun 2026 diproyeksikan mencapai Rp 101,72 triliun, meningkat signifikan dari alokasi tahun 2025 yang sebesar Rp 87,72 triliun.
Kenaikan angka subsidi ini memicu kekhawatiran dari sejumlah pihak, termasuk Achmad Nur Hidayat, seorang pengamat kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta. Ia menilai bahwa anggaran subsidi listrik yang besar tersebut berpotensi tidak tepat sasaran dan bahkan dapat memicu defisit anggaran negara. Kondisi ini bisa semakin diperparah jika nilai tukar rupiah terus melemah, yang berujung pada melonjaknya beban subsidi listrik.
Achmad juga menyoroti bahwa peningkatan subsidi listrik tidak mencerminkan keadilan dalam distribusi fiskal maupun efektivitas kebijakan publik. Ia menganalogikan subsidi listrik sebagai ‘selimut di musim dingin’ yang seharusnya diperuntukkan bagi mereka yang paling membutuhkan. “Namun, kenyataannya, subsidi ini justru lebih banyak dinikmati oleh kelompok menengah atas yang notabene sudah memiliki perlindungan ekonomi yang lebih baik,” jelas Achmad saat dihubungi.
Merujuk pada data dari World Bank dan Asian Development Bank, Achmad memaparkan fakta mencengangkan: 40 persen rumah tangga terkaya di Indonesia menikmati sekitar 50 hingga 60 persen dari total subsidi listrik, sementara 40 persen rumah tangga termiskin hanya memperoleh 20 hingga 25 persen. Hal ini, menurut Achmad, disebabkan oleh sistem subsidi listrik Indonesia yang berbasis tarif dan golongan, bukan pada kondisi sosial ekonomi riil. Ia mengungkapkan, banyak rumah tangga di perumahan elite masih menggunakan golongan subsidi 900 VA atau 450 VA dengan mendaftarkan atas nama kerabat atau staf rumah tangga mereka.
Ketimpangan ini semakin diperparah oleh struktur konsumsi listrik di lapangan. Banyak rumah tangga miskin di daerah terpencil belum sepenuhnya terjangkau oleh jaringan listrik PLN, atau memiliki konsumsi listrik yang sangat kecil. Akibatnya, manfaat subsidi yang seharusnya mereka terima menjadi minim.
Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022 memperkuat argumen tersebut, menunjukkan bahwa rumah tangga miskin rata-rata hanya menggunakan 40-60 kWh listrik per bulan. Bandingkan dengan kelompok menengah yang mengonsumsi 80-150 kWh, dan kelompok kaya yang bisa mencapai 250-400 kWh setiap bulannya.
Meskipun kelompok kaya memiliki konsumsi listrik yang tinggi, proporsi biaya listrik terhadap total pengeluaran mereka relatif kecil, sehingga manfaat tambahan dari subsidi tidak terlalu signifikan bagi mereka. “Penambahan anggaran subsidi yang mencapai Rp 101,72 triliun di tahun 2026 justru akan lebih banyak dinikmati oleh kelompok menengah-atas. Inilah yang kami sebut sebagai subsidi regresif, di mana manfaatnya lebih besar bagi mereka yang sebenarnya tidak terlalu membutuhkan,” pungkas Achmad.
Oleh karena itu, Achmad menekankan pentingnya reorientasi kebijakan jika pemerintah serius ingin subsidi benar-benar sampai kepada masyarakat miskin dan rentan. Ia menutup dengan analogi tajam: “Subsidi yang besar namun tidak tepat sasaran ibarat menabur pupuk mahal di tanah berbatu. Itu hanya akan menjadi pemborosan anggaran negara semata.”
Nandito Putra berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan Editor: APBN Makin Berat, Subsidi Listrik Kian Membengkak
Ringkasan
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memaparkan strategi pemerintah untuk menekan subsidi listrik tanpa menaikkan tarif, dengan fokus pada pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) dan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang efisien. Pemerintah berupaya mencari inovasi teknologi untuk menurunkan biaya produksi PLTS yang saat ini masih tinggi, agar dapat meminimalkan atau menghilangkan subsidi listrik. Proses ini memerlukan perhitungan investasi yang cermat dan akan dijadwalkan implementasinya oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Di sisi lain, alokasi subsidi listrik justru diproyeksikan meningkat menjadi Rp 101,72 triliun pada tahun 2026, memicu kritik dari pengamat kebijakan publik. Data menunjukkan 40 persen rumah tangga terkaya menikmati 50-60 persen subsidi, sementara 40 persen termiskin hanya 20-25 persen, disebabkan sistem berbasis tarif yang tidak tepat sasaran. Hal ini menjadikan subsidi regresif, yang lebih menguntungkan kelompok menengah-atas, sehingga diperlukan reorientasi kebijakan agar subsidi benar-benar sampai kepada yang membutuhkan.