JAKARTA – Nilai tukar Rupiah mencatat pelemahan tipis terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam sesi perdagangan Kamis (16/10). Kondisi ini mencerminkan kehati-hatian mendalam dari para pelaku pasar yang secara seksama menantikan serangkaian pidato penting dari para pejabat Federal Reserve (The Fed) yang dijadwalkan malam ini. Berdasarkan data Bloomberg, Rupiah di pasar spot mengakhiri perdagangan di level Rp 16.581 per dolar AS, melemah 0,03% dari penutupan sebelumnya yang berada di Rp 16.576 per dolar AS. Sejalan dengan tren ini, kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI) juga menunjukkan pelemahan serupa, tercatat di level Rp 16.580 per dolar AS, atau melemah 0,02% dibandingkan posisi hari Rabu (15/10/2025).
Menurut Ibrahim Assuaibi, seorang pengamat ekonomi dan mata uang dari PT Laba Forexindo Berjangka, pelemahan nilai tukar Rupiah ini selaras dengan penguatan kembali indeks dolar AS. Penguatan ini terjadi di tengah spekulasi pasar mengenai kemungkinan pemangkasan suku bunga The Fed pada bulan Oktober dan Desember mendatang. Ibrahim menjelaskan, “Laporan Beige Book The Fed menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi di AS hanya mengalami sedikit perubahan, dengan permintaan yang melambat disertai tekanan biaya yang masih bertahan. Namun, laporan tersebut juga mengindikasikan adanya pelemahan di pasar tenaga kerja, yang pada gilirannya memperkuat probabilitas pemangkasan suku bunga.”
Lebih lanjut, Ibrahim menggarisbawahi bahwa ketegangan perdagangan yang terus memanas antara AS dan Tiongkok turut menjadi penghalang bagi penguatan Rupiah. Ia menuturkan, “Washington telah melontarkan kembali ancaman tarif baru terhadap produk-produk asal Tiongkok, sementara Beijing memperluas cakupan kontrol ekspor untuk bahan tanah jarang. Risiko eskalasi ketegangan ini memberikan tekanan signifikan pada aset berisiko, termasuk mata uang dari negara-negara berkembang.” Tidak hanya itu, penutupan sebagian lembaga pemerintah AS yang kini telah memasuki minggu ketiga juga turut menambah lapisan ketidakpastian di pasar global. Situasi ini secara alami mendorong sebagian investor untuk bersikap wait and see dan mengalihkan portofolio mereka ke aset aman seperti dolar AS dan obligasi Treasury.
Beralih ke ranah domestik, Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia pada Agustus 2025 berada di angka US$ 431,9 miliar. Angka ini menunjukkan penurunan tipis dibandingkan bulan Juli 2025 yang tercatat sebesar US$ 432,5 miliar. Penurunan ULN ini mengindikasikan berkurangnya aliran modal asing yang masuk ke Surat Berharga Negara (SBN), sebagai respons terhadap tingginya ketidakpastian global. Meskipun demikian, Ibrahim menegaskan, “Struktur utang Indonesia masih dalam kondisi yang sehat, mengingat 99,9% dari total ULN didominasi oleh tenor jangka panjang.”
Menanggapi situasi pasar, Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong, menilai bahwa ketiadaan data ekonomi makro yang signifikan telah membuat para pelaku pasar cenderung bersikap wait and see. Mereka kini fokus menanti sinyal lanjutan dari The Fed. Lukman menjelaskan, “Beberapa pejabat The Fed belakangan ini telah mengeluarkan pernyataan yang cenderung kurang hawkish, memicu spekulasi pasar bahwa pidato mereka malam ini juga akan bernada dovish. Apabila skenario ini terwujud, dolar AS berpotensi kembali tertekan, yang pada akhirnya dapat membuka peluang penguatan bagi Rupiah.”
Untuk sesi perdagangan esok, Lukman memproyeksikan pergerakan Rupiah akan cenderung fluktuatif namun tetap stabil, berada dalam kisaran Rp 16.500 hingga Rp 16.600 per dolar AS. Level support krusial untuk Rupiah diperkirakan di Rp 16.500, sementara level resistance berada di Rp 16.620. “Rupiah kemungkinan besar akan bergerak mendatar karena pasar sedang menanti kejelasan arah kebijakan moneter AS,” imbuh Lukman. Ia menambahkan, “Apabila The Fed kembali mengindikasikan sikap dovish, Rupiah memiliki potensi untuk menguat secara teknikal.”
Ringkasan
Nilai tukar Rupiah melemah tipis terhadap dolar AS pada Kamis (16/10), mengakhiri perdagangan di level Rp 16.581 per dolar AS. Pelemahan ini mencerminkan kehati-hatian pasar yang menantikan pidato penting dari pejabat Federal Reserve (The Fed), di tengah spekulasi kemungkinan pemangkasan suku bunga. Kondisi ini juga sejalan dengan penguatan indeks dolar AS.
Selain faktor The Fed, ketegangan perdagangan AS-Tiongkok yang memanas serta penutupan sebagian lembaga pemerintah AS turut menambah ketidakpastian global, mendorong investor ke aset aman. Analis menilai pasar cenderung bersikap wait and see menanti sinyal kebijakan moneter AS. Rupiah diproyeksikan bergerak fluktuatif namun stabil, dengan potensi menguat jika The Fed menunjukkan sikap yang lebih dovish.





