Kasus berulang keracunan makanan dalam program makan bergizi gratis (MBG) telah memicu desakan serius dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). YLKI meminta Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) untuk memperketat pengawasan terhadap peralatan makan, sanitasi dapur, dan alat masak yang digunakan dalam program tersebut.
Menurut Ketua YLKI, Niti Emilia, pengawasan mitra MBG tidak boleh hanya terpaku pada bahan pangan yang dicurigai sebagai penyebab keracunan. Ia menekankan bahwa wadah makanan atau food tray itu sendiri dapat menjadi pemicu keracunan. Niti menjelaskan, jika keracunan terjadi padahal makanan yang disajikan tampak baik-baik saja dari segi rasa maupun bau, maka diperlukan penelusuran lebih lanjut terhadap penyebabnya.
Dokumen Panduan Mitra untuk Pembangunan SPPG sebenarnya telah mensyaratkan nampan makanan berbahan stainless steel (SUS) 304. Namun, Niti menduga banyak mitra MBG tidak memiliki kompetensi memadai untuk memeriksa atau memastikan keaslian serta kualitas mutu nampan yang mereka gunakan. Lebih lanjut, YLKI menyoroti status sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI) produk peralatan makan yang masih bersifat sukarela. YLKI sangat berharap status ini segera berubah menjadi SNI wajib, mengingat label tersebut merupakan jaminan keselamatan fundamental bagi konsumen.
Niti Emilia juga mengingatkan bahwa satu kasus keracunan makanan saja sudah termasuk dalam kategori Kejadian Luar Biasa (KLB). Hal ini karena satu kasus keracunan berpotensi langsung menyebabkan kematian dan dapat menyebar secara luas, sehingga memerlukan respons cepat dan penanganan serius.
Dugaan keracunan massal akibat menyantap makanan program MBG kembali mengguncang, kali ini menimpa sejumlah siswa dan guru di Kecamatan Gemolong, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Berdasarkan informasi yang dihimpun Tempo pada Selasa, 12 Agustus 2025, insiden ini terjadi pada siswa dan guru di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 4 Gemolong serta SMP Negeri (SMPN) 3 Gemolong setelah mengonsumsi makanan yang didistribusikan pada 11 Agustus 2025.
Kepala Puskesmas Gemolong, Agus Pranoto Budi, mengonfirmasi kejadian tersebut. Data sementara per 12 Agustus 2025 menunjukkan ada 196 orang yang merasakan gejala keracunan, mencakup murid, guru, karyawan sekolah, bahkan anggota keluarga yang ikut mengonsumsi makanan yang dibawa pulang. Para korban mengalami gejala seperti mual, pusing, dan diare, yang diduga kuat setelah menyantap hidangan dari Dapur SPPG Mitra Mandiri Gemolong. Tim Puskesmas Gemolong pun segera bergerak mendatangi korban untuk pemeriksaan mendalam.
Kasus dugaan keracunan MBG ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya, insiden serupa terjadi di Kupang, Nusa Tenggara Timur, di mana sebanyak 140 siswa SMPN 8 Kupang diduga keracunan usai mengonsumsi menu makan bergizi gratis. Mereka yang mengalami gangguan kesehatan berupa diare dan muntah-muntah harus menjalani perawatan di tiga rumah sakit terdekat, yakni RSUD SK Lerik, RSU Mamami, dan RS Siloam, pada Selasa pagi, 22 Juli 2025.
Gejala tersebut muncul sehari setelah mereka mengonsumsi menu MBG pada 21 Juli 2025. Dari hasil pemeriksaan sampel makanan, ditemukan adanya bakteri Streptococcus sp dalam daging yang disajikan, mengindikasikan kontaminasi yang serius.
Septia Ryanthie berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Ringkasan
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) untuk memperketat pengawasan program makan bergizi gratis (MBG) menyusul kasus keracunan makanan yang berulang. YLKI menekankan pentingnya pengawasan peralatan makan, sanitasi dapur, dan alat masak, bukan hanya bahan pangan, karena wadah makanan itu sendiri dapat menjadi pemicu keracunan.
YLKI menyoroti dugaan ketidakmampuan mitra MBG dalam memastikan kualitas nampan makanan dan mendesak agar sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk peralatan makan diubah menjadi SNI wajib sebagai jaminan keselamatan konsumen. Desakan ini diperkuat oleh insiden keracunan massal terbaru di Sragen dan kasus sebelumnya di Kupang, di mana bakteri ditemukan dalam sampel makanan yang disajikan.