Menteri Perdagangan Budi Santoso mengambil langkah strategis dengan menerbitkan dua peraturan baru yang secara ketat mengatur impor ubi kayu atau singkong beserta produk turunannya, serta etanol. Kebijakan ini, yang diumumkan pada Jumat, 19 September 2025, dirancang dengan tujuan ganda: menjaga stabilitas pasokan untuk kebutuhan industri sekaligus melindungi kesejahteraan petani lokal. Langkah ini juga krusial untuk memastikan ketersediaan bahan baku strategis nasional yang berkelanjutan.
Dua regulasi komprehensif yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2025 dan Permendag Nomor 32 Tahun 2025. Permendag Nomor 32 Tahun 2025 secara spesifik merupakan perubahan atas Permendag Nomor 20 Tahun 2025 yang sebelumnya mengatur impor bahan kimia, bahan berbahaya, dan bahan tambang. Kedua aturan baru ini dijadwalkan akan mulai berlaku secara efektif 14 hari setelah diundangkan.
Dalam pengaturan impor singkong dan turunannya, melalui Permendag Nomor 31 Tahun 2025, pemerintah kini mewajibkan adanya persetujuan impor (PI). Impor hanya diperuntukkan bagi entitas yang memegang Angka Pengenal Importir Produsen (API-P). Selain itu, impor singkong dan produk olahannya seperti tepung tapioka juga akan membutuhkan syarat tambahan, yaitu rekomendasi teknis dari Kementerian Perindustrian atau melalui Neraca Komoditas (NK) apabila sistem tersebut sudah tersedia. Menteri Budi menjelaskan bahwa penyesuaian aturan ini dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan nasional, kapasitas produksi dalam negeri, serta potensi kekurangan produksi yang mungkin terjadi.
Perubahan signifikan juga diterapkan pada impor etanol melalui Permendag Nomor 32 Tahun 2025. Etanol, yang sebelumnya dapat diimpor secara bebas, kini diwajibkan untuk mengantongi persetujuan impor (PI) dari kementerian teknis terkait. Menteri Budi menegaskan bahwa revisi aturan ini bertujuan untuk menjaga stabilitas harga molases atau tetes tebu, sekaligus memberikan perlindungan bagi petani tebu, serta mendukung program ambisius swasembada gula dan energi nasional. Ia secara tegas menyatakan, “Etanol memang penting bagi industri, tetapi harus dipastikan tidak mengganggu penyerapan tetes tebu lokal.” Tidak hanya itu, Permendag 32 Tahun 2025 juga akan memperluas cakupan distribusi bahan berbahaya (B2) ke sektor-sektor krusial seperti farmasi, obat tradisional, kosmetik, dan pangan olahan. Importir berstatus terdaftar B2 (IT-B2), yang mayoritasnya adalah BUMN pemegang API-U, akan diizinkan menyalurkan produk tersebut dengan syarat adanya rekomendasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Latar belakang perubahan kebijakan impor etanol ini tidak lepas dari masukan dan kekhawatiran yang disampaikan oleh sejumlah pengusaha, termasuk Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), kepada Kementerian Perdagangan. Mereka menyuarakan potensi terganggunya penyerapan tetes tebu lokal jika pemerintah terus membebaskan impor etanol. Oleh karena itu, para pengusaha mendesak agar impor etanol harus memperoleh persetujuan impor dan dimasukkan ke dalam kerangka Neraca Komoditas sebagai dasar penentuan kebijakan impor di masa mendatang. Kebijakan ini diharapkan dapat menjadi jawaban atas dinamika pasar yang kompleks dan seruan dari para petani serta pelaku usaha, mengingat sebelumnya sempat muncul isu mengenai “Keran Impor Etanol Dibuka, Petani Tebu Merana,” sebuah kondisi yang kini coba diatasi melalui regulasi baru yang lebih terukur ini.
Ringkasan
Menteri Perdagangan Budi Santoso menerbitkan dua peraturan baru, Permendag Nomor 31 dan 32 Tahun 2025, yang secara ketat mengatur impor ubi kayu/singkong beserta turunannya dan etanol. Kebijakan ini, yang berlaku 14 hari setelah diundangkan, bertujuan menjaga stabilitas pasokan industri, melindungi petani lokal, dan memastikan ketersediaan bahan baku strategis nasional. Impor singkong dan turunannya kini wajib memiliki persetujuan impor (PI) bagi pemegang API-P, serta rekomendasi teknis dari Kementerian Perindustrian atau Neraca Komoditas.
Sementara itu, Permendag Nomor 32 Tahun 2025 mewajibkan persetujuan impor (PI) untuk etanol, yang sebelumnya dapat diimpor secara bebas. Aturan ini bertujuan menstabilkan harga molases, melindungi petani tebu, dan mendukung program swasembada gula dan energi nasional. Perubahan kebijakan ini juga menanggapi masukan dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) yang khawatir potensi terganggunya penyerapan tetes tebu lokal akibat impor etanol yang tidak terkontrol.





