Free Float 30%: Akhir Saham Gorengan? Analisis dan Dampaknya

H Anhar

Heyyoyo.com – Portal Teknologi, Review, Otomotif, Finansial – , JAKARTA – Usulan signifikan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk meningkatkan porsi saham publik atau free float menjadi 30% berpotensi besar untuk memperkuat kredibilitas Bursa Efek Indonesia (BEI) di mata para investor. Dengan proporsi kepemilikan saham oleh publik yang lebih besar, potensi manipulasi harga di pasar saham Tanah Air diyakini dapat dikendalikan dengan lebih efektif, menciptakan lingkungan investasi yang lebih sehat dan transparan.

Wacana ini disambut positif oleh Pengamat Pasar Modal, Reydi Octa, yang melihat dampak positif jangka panjang bagi pasar saham Indonesia. Menurutnya, kebijakan peningkatan free float akan secara langsung mendorong kredibilitas Bursa di mata investor global, sekaligus memotivasi investor asing untuk lebih aktif menanamkan modal di pasar saham Indonesia. Hal ini diharapkan mampu menjadikan pasar lebih likuid dan berkualitas.

“Kenaikan free float dapat mempersempit ruang manuver ‘saham gorengan’ karena harga menjadi lebih sulit dimanipulasi. Bagi investor, ini adalah langkah positif untuk jangka panjang sebab pasar akan makin sehat dan transparan,” jelas Reydi ketika dihubungi pada Jumat, 10 Oktober 2025. Ia menambahkan bahwa upaya perbaikan likuiditas dan kualitas perdagangan, terutama bagi saham-saham kecil dan menengah yang sangat membutuhkan dorongan, bukan lagi hal yang mustahil untuk diwujudkan.

Senada dengan pandangan tersebut, Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menilai bahwa rencana penerapan free float 30% memiliki potensi kuat untuk menarik masuknya dana asing ke pasar saham Indonesia. Kondisi ini menjadi semakin relevan mengingat pada perdagangan Jumat, 10 Oktober 2025, pasar saham Tanah Air masih mencatatkan net sell asing senilai Rp53,49 triliun sepanjang tahun berjalan 2025, menandakan urgensi kebijakan pro-pasar.

“Agar investor asing tertarik masuk ke pasar modal Indonesia, tentunya pemerintah harus menerapkan kebijakan yang pro market. Untuk itu, emiten-emiten dituntut untuk mampu meningkatkan free float,” tegas Nafan. Peningkatan free float ini, menurutnya, juga akan memberikan keamanan investasi bagi para investor, sejalan dengan semakin terbatasnya gerak ‘saham gorengan’ yang kerap merugikan.

Langkah ini dipercaya akan mendukung target pemerintah untuk mendatangkan dana asing ke pasar saham Indonesia, sekaligus memperkuat ketahanan pasar melalui dominasi investor domestik yang lebih berfokus pada fundamental. “Kehadiran free float 30% mampu mengurangi potensi saham gorengan. Tentunya ini memberikan katalis positif bagi para investor. Nantinya investor akan lebih melihat kinerja fundamental emiten dan prospek emiten ke depan,” pungkasnya.

Sebagai informasi, usulan Komisi XI DPR RI untuk mengerek minimum saham free float tiap emiten menjadi 30% ini merupakan peningkatan drastis dari aturan saat ini yang hanya mencapai 7,5%. Ketentuan Bursa Efek Indonesia (BEI) mengenai free float minimum memang tergolong rendah jika dibandingkan dengan bursa global lainnya. Sebagai contoh, London Stock Exchange, Filipina, dan SGX telah menetapkan batas 10%, sementara Bursa Malaysia, Jepang, dan Hong Kong mencapai level 25%.

Menanggapi usulan ini, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Inarno Djajadi, menyatakan dukungan prinsipil otoritas terhadap langkah DPR dalam memperluas kepemilikan publik di pasar modal Indonesia. Menurutnya, peningkatan porsi saham yang beredar di publik dapat secara signifikan memperkuat transparansi serta memperdalam likuiditas perdagangan saham di bursa.

“Bertahap itu, bertahap ya. Kalau misalnya setuju atau enggak setuju, kami pasti setuju, tapi bertahap,” ujar Inarno saat ditemui di Jakarta, Selasa, 7 Oktober 2025. Pernyataan ini menegaskan komitmen OJK untuk mendukung reformasi pasar modal, namun dengan mempertimbangkan proses implementasi yang cermat dan berkesinambungan.

Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.

Ringkasan

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) mengusulkan peningkatan porsi saham publik atau *free float* menjadi 30%, naik signifikan dari aturan saat ini yang hanya 7,5%. Langkah ini bertujuan untuk memperkuat kredibilitas Bursa Efek Indonesia (BEI), mengendalikan potensi manipulasi harga, serta menciptakan lingkungan investasi yang lebih sehat dan transparan. Para pengamat pasar modal seperti Reydi Octa dan Nafan Aji Gusta menyambut baik usulan ini, menilai bahwa kebijakan tersebut akan menarik investor asing, meningkatkan likuiditas pasar, dan membatasi praktik “saham gorengan.”

Peningkatan *free float* dianggap krusial mengingat standar BEI yang relatif rendah dibandingkan bursa global lainnya, serta berpotensi besar untuk menarik dana asing ke pasar modal Indonesia. Kondisi ini diharapkan dapat memberikan keamanan investasi bagi para investor dengan mendorong fokus pada kinerja fundamental emiten. Otoritas Jasa Keuangan (OJK), melalui Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Inarno Djajadi, menyatakan dukungan prinsipil terhadap perluasan kepemilikan publik ini untuk memperdalam likuiditas dan transparansi, meskipun menyarankan implementasi secara bertahap.

Also Read

[addtoany]