Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengumumkan rencana untuk memandatorikan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dengan campuran etanol 10 persen, atau dikenal sebagai bioetanol 10 persen (E10), mulai tahun 2027. Langkah ini dipandang sebagai strategi krusial untuk memperkuat kemandirian energi dan mengurangi ketergantungan pada impor.
Dalam pidatonya pada Upacara Hari Jadi Pertambangan dan Energi di Monumen Nasional, Jakarta, pada Jumat, 24 Oktober 2025, Bahlil menegaskan, “Di 2027, kami akan mandatori untuk membangun bensin kita dengan E10 sampai dengan E20.” Ia melanjutkan, kebijakan mandatori bioetanol ini bertujuan fundamental untuk menciptakan sumber-sumber energi dari nabati dan membangun kedaulatan energi, sekaligus secara signifikan mengurangi impor bensin Indonesia.
Dorongan kebijakan ini semakin relevan mengingat data Kementerian ESDM tahun 2024 menunjukkan volume impor minyak nasional yang masih sangat tinggi, mencapai 330 juta barel. Angka tersebut terbagi atas 128 juta barel minyak mentah dan 202 juta barel dalam bentuk bahan bakar minyak (BBM) jadi, menggarisbawahi urgensi mitigasi impor melalui solusi domestik.
Bahlil optimis bahwa mandatori bioetanol 10 persen akan efektif menekan angka impor bensin di Indonesia. Keyakinan ini diperkuat oleh keberhasilan serupa dari program Biodiesel 40 (B40), yang secara signifikan berhasil memangkas impor solar nasional. Kementerian ESDM mencatat, pemanfaatan biodiesel sepanjang 2020 hingga 2025 telah menghemat devisa sebesar 40,71 miliar dolar AS, demonstrasi nyata dari potensi penghematan melalui mandatori bahan bakar nabati.
Rencana strategis penerapan mandatori E10 ini juga telah menjadi agenda utama diskusi dalam pertemuan bilateral dengan Brasil, negara yang dikenal sangat maju dalam pengembangan etanol. Bahlil mengungkapkan, “Mereka (Brasil) mandatori etanol, di negara mereka itu E30, tapi di beberapa negara bagian sudah ada sampai E100, ada juga E85,” menunjukkan skala dan keberhasilan adaptasi etanol di sana.
Dalam upaya mereplikasi keberhasilan Brasil, tim dari Indonesia telah dikirim ke sana untuk melakukan studi banding dan bertukar pandangan dengan para pakar mengenai implementasi mandatori bioetanol. Menariknya, kolaborasi ini bersifat dua arah; Brasil pun turut mempelajari pengalaman Indonesia terkait mandatori biodiesel. “Karena ini sesuatu yang baru, maka saya kirim tim ke Brasil untuk bertukar pandangan dengan beberapa pakar di sana. Mereka juga akan ke sini untuk saling memberi informasi dan pengetahuan tentang pengalaman, termasuk pendataan regulasi,” jelas Bahlil, menggarisbawahi pentingnya transfer pengetahuan dalam pengembangan energi berkelanjutan.
Dukungan terhadap program ini datang dari level tertinggi. Sebelumnya, Bahlil telah menginformasikan bahwa Presiden Prabowo Subianto menyetujui mandatori campuran etanol 10 persen untuk BBM. Persetujuan ini didasari oleh dua tujuan krusial: mengurangi emisi karbon dan meminimalisir ketergantungan terhadap impor BBM, sejalan dengan komitmen Indonesia terhadap keberlanjutan lingkungan dan ketahanan energi.
Menyambut rencana ambisius ini, Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Simon Aloysius Mantiri, menyatakan kesiapan penuh perusahaannya untuk melaksanakan program mandatori kandungan etanol 10 persen dalam campuran BBM. Simon menegaskan bahwa Pertamina berkomitmen penuh untuk mengambil langkah-langkah yang selaras dengan visi pemerintah, khususnya dalam memastikan ketahanan energi nasional Indonesia di masa depan.
Pilihan Editor: Pelita Air Debut Gunakan Bioavtur dari Minyak Jelantah Buatan Pertamina
Ringkasan
Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, mengumumkan rencana mandatori penggunaan bahan bakar minyak (BBM) campuran etanol 10 persen (E10) mulai tahun 2027. Kebijakan ini bertujuan memperkuat kemandirian dan kedaulatan energi nasional, menciptakan sumber energi nabati, serta signifikan mengurangi impor bensin. Urgensi kebijakan ini didasari oleh tingginya volume impor minyak nasional, yang mencapai 330 juta barel pada tahun 2024.
Bahlil optimis mandatori E10 akan efektif menekan impor bensin, berkaca pada keberhasilan program Biodiesel 40 (B40) yang menghemat devisa US$40,71 miliar. Indonesia juga aktif menjalin kerja sama dengan Brasil, negara maju dalam pengembangan etanol, dengan mengirim tim untuk studi banding. Presiden Prabowo Subianto menyetujui program ini untuk mengurangi emisi karbon dan ketergantungan impor, dan PT Pertamina menyatakan kesiapan penuh untuk pelaksanaannya.





