Aturan Free Float Saham Diubah OJK? Ini Kata Pengamat!

H Anhar

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang bersiap untuk mereformasi peraturan penting dalam dunia pasar modal Indonesia, khususnya terkait porsi kepemilikan publik atau free float. Revisi ini mencakup ketentuan untuk initial free float bagi perusahaan yang akan melakukan IPO serta kewajiban free float bagi emiten yang sudah tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Langkah strategis ini diharapkan dapat membawa dampak signifikan bagi dinamika pasar saham di Tanah Air.

Dalam rancangan aturan yang digodok, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, menjelaskan adanya perubahan mendasar pada pendekatan initial free float IPO. Nantinya, kebijakan ini akan mengadopsi pendekatan berdasarkan nilai kapitalisasi pasar, meninggalkan metode sebelumnya yang berpatokan pada nilai ekuitas. Pendekatan baru ini, menurut Inarno, sejalan dengan praktik terbaik yang diterapkan oleh beberapa bursa global terkemuka seperti Malaysia, Singapura, dan Hong Kong. Pernyataan ini disampaikan dalam Rapat Dewan Komisioner OJK pada Kamis, 9 Oktober 2025 lalu.

Tak hanya untuk perusahaan yang baru melantai, OJK juga mengarahkan perhatian pada kewajiban free float bagi emiten yang sudah terdaftar. OJK mengusulkan peningkatan grand design free float secara bertahap, dengan mempertimbangkan sisi suplai dan permintaan di pasar, termasuk kebutuhan pendanaan untuk mencapai porsi free float yang lebih tinggi. Guna mendukung implementasi kebijakan ini, OJK juga mengusulkan berbagai insentif dan sanksi, serta peningkatan peran investor institusi domestik dalam menyerap saham di pasar.

Rencana kebijakan krusial ini akan didiskusikan lebih lanjut oleh BEI dan Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) dalam rapat kerja Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat. Pembahasan mendalam tersebut dijadwalkan akan berlangsung pada kuartal IV-2025, menandai fase penting menuju finalisasi aturan.

Menanggapi rencana OJK, Pengamat Pasar Modal Indonesia, Reydi Octa, memberikan pandangan positif. Menurutnya, inisiatif untuk menaikkan porsi free float merupakan kebijakan yang tepat untuk memperkuat likuiditas dan transparansi pasar saham. Dengan lebih banyak saham beredar di tangan publik, diharapkan aktivitas perdagangan akan semakin ramai dan informasi pasar lebih mudah diakses.

Kendati demikian, Reydi juga menyoroti potensi tantangan yang perlu dicermati. Bagi emiten yang kepemilikan sahamnya masih sangat terkonsentrasi, misalnya didominasi oleh pengendali, jajaran internal, atau institusi konsorsium, kebijakan ini dapat memicu tekanan jual yang signifikan. Apabila mereka dipaksa untuk menjual saham dalam jumlah besar demi memenuhi persyaratan free float, daya beli di pasar berpotensi melemah dan menyebabkan harga saham tertekan atau bahkan jatuh. “Arah kebijakannya tepat, tapi waktu penerapannya harus hati-hati agar tidak menimbulkan kelebihan suplai saham di pasar,” tegas Reydi kepada Kontan pada Jumat, 10 Oktober 2025.

Lebih lanjut, Reydi menekankan bahwa kondisi pasar modal Indonesia saat ini masih didominasi oleh investor ritel, dengan ketersediaan dana investor institusional jangka panjang yang relatif terbatas. Oleh karena itu, ia menyarankan agar kenaikan free float dilakukan secara bertahap, dimulai dari emiten berkapitalisasi besar sebelum menyasar kelompok menengah dan kecil. Pendekatan ini diharapkan dapat meminimalkan gejolak pasar dan memastikan implementasi kebijakan berjalan lebih mulus.

Ringkasan

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang mereformasi peraturan free float saham di pasar modal Indonesia, mencakup IPO dan emiten yang sudah tercatat. Pendekatan initial free float IPO akan diubah berdasarkan kapitalisasi pasar, mengikuti praktik bursa global terkemuka. OJK juga mengusulkan peningkatan free float bertahap bagi emiten terdaftar, didukung insentif dan peran investor institusi domestik, dengan diskusi lebih lanjut dijadwalkan pada kuartal IV-2025.

Pengamat pasar modal Reydi Octa menilai positif inisiatif ini untuk memperkuat likuiditas dan transparansi pasar. Namun, ia menyoroti potensi tekanan jual yang signifikan bagi emiten dengan kepemilikan terkonsentrasi, yang bisa menekan harga saham. Reydi menyarankan penerapan kebijakan dilakukan secara bertahap, dimulai dari emiten berkapitalisasi besar, untuk meminimalkan gejolak pasar.

Also Read

[addtoany]

Tags