Ramalan Suram Ekonomi RI 2025: IMF, OECD, ADB, Bank Dunia Pesimis!

H Anhar

Heyyoyo.com – Portal Teknologi, Review, Otomotif, Finansial – , JAKARTA — Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2025 tengah menjadi sorotan, setelah sejumlah lembaga keuangan internasional kompak memperkirakan angkanya akan berada di bawah 5%. Prediksi ini jauh di bawah target pemerintah, yang mematok angka 5,2% (year-on-year/yoy) atau paling pesimistis di level 5%.

Laporan terbaru dari Bank Dunia menjadi penambah daftar panjang, menyusul estimasi serupa yang telah dikeluarkan sebelumnya oleh Dana Moneter Internasional (IMF), Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), serta Japan Credit Rating Agency (JCR). Sinyal ini menggarisbawahi adanya konsensus di kalangan analis global mengenai tantangan ekonomi yang menanti Indonesia.

Dalam laporannya yang bertajuk “World Bank East Asia and The Pacific Economic Update October 2025”, Bank Dunia memang merevisi naik proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Angka 4,8% (yoy) yang baru ini sedikit lebih tinggi dibandingkan proyeksi April 2025 yang hanya 4,7% (yoy), menunjukkan adanya sedikit optimisme.

Namun, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di kawasan Asia Timur dan Pasifik, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 diproyeksikan masih tertinggal. Bank Dunia memperkirakan Filipina tumbuh 5,3%, Vietnam melonjak menjadi 6,6% (setelah direvisi naik signifikan dari 5,8% pada April 2025), Mongolia 5,9%, dan Palau 5,7%. Data ini menyoroti perlunya Indonesia untuk mengakselerasi potensi ekonominya.

Tren serupa diproyeksikan berlanjut hingga tahun 2026, di mana Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan stagnan di level 4,8% (yoy). Meskipun pertumbuhan ekonomi Vietnam diprediksi sedikit melambat menjadi 6,1% (yoy), Filipina justru diperkirakan akan mengalami kenaikan tipis ke 5,4% (yoy), menunjukkan dinamika berbeda di masing-masing negara.

Secara keseluruhan, Bank Dunia menyimpulkan bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Timur dan Pasifik tetap di atas rata-rata global, lajunya diperkirakan akan menunjukkan tanda-tanda pelambatan. Tren penurunan ini diprediksi akan dimulai pada tahun 2025 dan berlanjut semakin lesu pada tahun 2026, menyiratkan adanya tantangan regional yang lebih luas.

Berbagai indikator ekonomi domestik pun turut mengirimkan sinyal pelambatan momentum. Meskipun penjualan ritel menunjukkan peningkatan, optimisme ini tidak sejalan dengan keyakinan konsumen yang belum pulih sepenuhnya ke level pra-pandemi, menciptakan disparitas dalam pemulihan ekonomi.

Di sektor lain, produksi industri memang tercatat kuat, namun hal ini tidak diimbangi oleh tingkat keyakinan bisnis yang masih diprediksi rendah ke depan. Di sisi perdagangan, kinerja ekspor Indonesia tetap tangguh di tengah goncangan tarif impor Amerika Serikat (AS), namun sinyal pelemahan terlihat dari pesanan ekspor baru yang cenderung lesu.

Menariknya, Bank Dunia membandingkan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan Tiongkok, yang juga berada di kisaran 5% berkat dukungan belanja pemerintah. Namun, terdapat perbedaan fundamental: Tiongkok diproyeksikan memperlebar defisit anggaran belanjanya secara signifikan, dari 4,5% pada 2019 menjadi 8,1% pada 2025. Hal ini akan meningkatkan rasio utang terhadap PDB menjadi 70,8%, yang berpotensi membatasi stimulus ekonomi di tahun 2026.

Kontras dengan Tiongkok, laporan Bank Dunia mencatat bahwa tantangan bagi Indonesia lebih terletak pada arah dan efektivitas belanja pemerintah, ketimbang ukuran defisit. Defisit Indonesia sendiri diperkirakan akan tetap terkendali dan berada dalam koridor aturan fiskal yang berlaku di negara tersebut, menunjukkan pengelolaan fiskal yang lebih hati-hati.

Selain Bank Dunia, lembaga-lembaga keuangan global lainnya juga sepakat mengenai proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dana Moneter Internasional (IMF), Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), serta Japan Credit Rating Agency (JCR) semuanya memperkirakan adanya pelambatan, mengindikasikan adanya kesamaan pandangan di kalangan pakar ekonomi.

Dalam laporan “Economic Outlook” edisi September 2025, OECD justru menunjukkan sedikit optimisme dengan merevisi naik proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,9% (yoy) untuk tahun 2025 dan 2026. Angka ini lebih tinggi dari proyeksi Juni 2025 yang berada di 4,7% (yoy).

Peningkatan proyeksi OECD ini disebut-sebut dipicu oleh dua faktor utama: langkah Bank Indonesia (BI) yang mulai mengimplementasikan kebijakan moneter pro-pertumbuhan yang lebih longgar, serta kinerja investasi domestik yang terus menunjukkan akselerasi positif.

Sebagaimana tertulis dalam laporan “OECD Economic Outlook”, “Pelonggaran kebijakan moneter lebih lanjut dan investasi publik yang kuat diharapkan dapat mendukung perekonomian Indonesia, dengan pertumbuhan tahunan sebesar 4,9% diproyeksikan untuk tahun 2025 dan 2026,” demikian laporan tersebut menyatakan, yang dirilis pada Selasa (23/9/2025).

Sementara itu, Japan Credit Rating Agency (JCR), lembaga pemeringkat kredit terkemuka dari Jepang, juga merilis proyeksi pada 22 September 2025 yang menempatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah 5% untuk keseluruhan tahun 2025. Prediksi konservatif ini muncul meskipun pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 sempat melesat di luar ekspektasi, mencapai 5,12% (yoy).

JCR mengidentifikasi beberapa faktor penyebab perlambatan ini, salah satunya adalah penerapan tarif impor Amerika Serikat (AS) yang berpotensi menekan permintaan ekspor. Meskipun kinerja neraca dagang sempat tumbuh signifikan akibat frontloading dari eksportir, efek ini diperkirakan tidak akan berkelanjutan dan permintaan ekspor baru akan melemah.

“Untuk keseluruhan tahun 2025, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan melambat hingga kurang dari 5%, utamanya disebabkan oleh lemahnya permintaan eksternal yang telah diantisipasi sebelumnya akibat penerapan tarif resiprokal AS,” demikian isi publikasi JCR yang dirilis pada Senin (29/9/2025).

Senada dengan pandangan beberapa lembaga lain, Asian Development Bank (ADB) juga merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam laporan terbarunya. Dari angka 5% pada proyeksi April, kini ADB memangkasnya menjadi 4,9% untuk tahun 2025, yang dipublikasikan pada September.

Menurut ADB, pemangkasan proyeksi ini disebabkan oleh perkembangan ketidakpastian dalam perdagangan global dan tingginya tarif resiprokal yang diterapkan oleh Amerika Serikat. Faktor-faktor eksternal ini secara signifikan memengaruhi prospek pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang di Asia dan Pasifik, termasuk Indonesia.

Terakhir, Dana Moneter Internasional (IMF) pada April 2025 telah merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 menjadi 4,7% (yoy). Dalam laporan “World Economic Outlook (WEO)” edisi April 2025, revisi ini konsisten dengan tren penurunan pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN 5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand), yang diperkirakan turun dari 3,6% pada 2024 menjadi hanya 3% pada 2025, mengindikasikan tekanan ekonomi regional yang lebih luas.

Ringkasan

Lembaga keuangan internasional seperti IMF, OECD, ADB, Bank Dunia, dan JCR kompak memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 akan berada di bawah 5%, lebih rendah dari target pemerintah yang mematok 5,0-5,2%. Bank Dunia merevisi proyeksinya sedikit naik menjadi 4,8% namun masih di bawah beberapa negara tetangga di Asia Timur dan Pasifik. IMF memprediksi 4,7%, sementara ADB merevisi turun menjadi 4,9% akibat ketidakpastian perdagangan global dan tarif AS.

Meskipun demikian, OECD menunjukkan sedikit optimisme dengan merevisi proyeksi pertumbuhan menjadi 4,9% untuk 2025 dan 2026, didukung oleh kebijakan moneter pro-pertumbuhan BI dan investasi domestik yang kuat. Namun, secara umum, proyeksi pelambatan ini disebabkan oleh indikator domestik yang belum sepenuhnya pulih dan tekanan dari lemahnya permintaan eksternal akibat tarif impor Amerika Serikat. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan Indonesia akan stagnan di 4,8% hingga 2026, sejalan dengan perlambatan regional.

Also Read

[addtoany]