Misteri Pengganti Sri Mulyani: Kontroversi Mencuat, Siapa?

H Anhar

Sosok Purbaya Yudhi Sadewa segera mencuri perhatian publik tak lama setelah ditunjuk Presiden Prabowo Subianto sebagai Menteri Keuangan. Pelantikannya belum genap sepekan, namun rentetan pernyataannya telah memicu gelombang kontroversi. Salah satu yang paling disorot adalah komentarnya mengenai tuntutan massa “17+8” yang disebutnya sebagai suara segelintir rakyat yang merasa terganggu dan kekurangan dalam hidupnya. Tak berhenti di situ, Purbaya juga lantang mengklaim dirinya “cukup jago” dan “tahu betul bagaimana memperbaiki ekonomi” sebagai dasar penunjukannya menggantikan Sri Mulyani.

Selain pernyataan kontroversial, langkah kebijakan perdana Purbaya juga tak luput dari perbincangan. Pada tanggal 12 September 2025, ia menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 276 Tahun 2025. Aturan ini menginstruksikan penempatan dana negara senilai Rp 200 triliun dalam bentuk deposito on call pada lima bank BUMN: PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, dan PT Bank Syariah Indonesia (Persero) Tbk. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menggenjot pertumbuhan sektor riil.

Meskipun sekilas tampak sebagai solusi inovatif untuk mendorong ekonomi Indonesia, kebijakan ini memicu kekhawatiran mendalam. Pasalnya, dana yang digelontorkan tersebut merupakan bagian vital dari kas negara yang semestinya berfungsi sebagai bantalan pengaman saat ekonomi menghadapi tantangan atau krisis. Penempatan dana sebesar itu tanpa pertimbangan yang jelas dan akuntabel dinilai berpotensi menimbulkan risiko jangka panjang, menggerus cadangan negara di masa-masa genting.

Kritik juga mencuat terkait asumsi dasar Purbaya mengenai penyebab kelesuan ekonomi. Dengan menggelontorkan dana jumbo, Purbaya seolah beranggapan bahwa perbankan memerlukan suntikan likuiditas tambahan untuk disalurkan ke sektor riil. Padahal, kredit perbankan selama beberapa waktu terakhir cenderung lesu bukan karena kekurangan dana di bank, melainkan akibat beragam persoalan fundamental. Faktor-faktor seperti tekanan eksternal dari perang dagang global, melemahnya daya beli konsumen domestik, hingga pemangkasan anggaran pemerintah yang berdampak pada jenis usaha masyarakat, jauh lebih dominan dalam menghambat penyaluran kredit.

Data yang ada semakin memperkuat argumentasi ini. Perbankan sesungguhnya masih menyimpan dana yang cukup besar dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN), tercatat sebesar Rp 1.1293 triliun pada Juli 2025. Selain itu, terdapat pula fenomena kredit menganggur yang mencapai Rp 2.354,5 triliun pada Maret lalu. Angka ini menunjukkan bahwa dana yang seharusnya mengalir sebagai kredit ke masyarakat justru tidak terserap karena kondisi ekonomi yang belum kondusif. Akibatnya, bank diperkirakan akan kesulitan menyalurkan gelontoran dana baru dari pemerintah, sementara di sisi lain, cadangan dana pemerintah sebagai bantalan krisis justru semakin menipis.

Di luar kontroversi pernyataan dan kebijakan ekonomi perdananya, proses pemilihan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan juga menjadi topik hangat. Tim Ekonomi dan Bisnis Tempo berhasil menggali sejumlah informasi mengenai para tokoh yang menyorongkan nama Purbaya kepada Presiden Prabowo. Ada pula cerita menarik seputar upaya lobi-lobi Purbaya untuk maju dalam pemilihan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) periode kedua, namun akhirnya batal karena ia ditunjuk untuk masuk ke dalam kabinet. Kisah-kisah ini dapat dibaca selengkapnya pada Majalah Tempo.

Baca Laporan Selengkapnya:

Ekonomi Komando Menteri Baru

Dadakan Mengganti Menteri Keuangan

Berat Beban Menteri Purbaya

Impor Etanol Dibuka, Petani Tebu Merana

Ringkasan

Purbaya Yudhi Sadewa, yang baru ditunjuk Presiden Prabowo Subianto sebagai Menteri Keuangan, langsung mencuri perhatian dengan berbagai pernyataannya yang kontroversial. Ia mengklaim “cukup jago” memperbaiki ekonomi dan menganggap tuntutan massa tertentu sebagai suara segelintir orang. Kebijakan perdananya adalah menerbitkan Kepmenkeu No. 276 Tahun 2025 untuk menempatkan dana negara senilai Rp 200 triliun dalam deposito di lima bank BUMN, bertujuan menggenjot pertumbuhan sektor riil.

Namun, kebijakan ini memicu kekhawatiran karena dana tersebut merupakan bagian vital kas negara sebagai bantalan pengaman saat krisis. Kritikus berpendapat kelesuan kredit perbankan bukan karena kekurangan likuiditas, melainkan masalah fundamental ekonomi dan daya beli konsumen. Data menunjukkan bank masih menyimpan dana besar dalam Surat Berharga Negara dan memiliki kredit menganggur, sehingga dikhawatirkan dana baru ini tidak terserap efektif. Akibatnya, cadangan negara berisiko menipis tanpa dampak signifikan pada penyaluran kredit.

Also Read

[addtoany]

Tags