JAKARTA – Data historis di pasar saham kerap mencatat kecenderungan pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) setiap bulan September, sebuah fenomena yang dikenal sebagai September Effect atau Black September. Dalam satu dekade terakhir, IHSG hanya dua kali berhasil mencatatkan penguatan pada periode ini, menjadikannya bulan yang penuh tantangan bagi para investor.
Namun, rekor historis tersebut berhasil didobrak secara dramatis. Pada Jumat, 19 September 2025, IHSG justru menyentuh level all time high (ATH) penutupan di angka 8.051. Pencapaian luar biasa ini didorong oleh sejumlah sentimen positif, termasuk kebijakan pelonggaran moneter yang agresif, paket stimulus ekonomi yang digulirkan pemerintah, serta langkah reshuffle kabinet Merah-Putih yang memberikan angin segar bagi optimisme pasar.
Keberhasilan IHSG mendobrak data historis dan mencetak rekor tertinggi baru ini sontak memunculkan pertanyaan krusial: bagaimana proyeksi dan arah pasar saham ke depan?
Menjawab pertanyaan tersebut, Liza Camelia Suryanata, Head Riset Kiwoom Sekuritas, menyampaikan pandangannya. Menurut Liza, pasca-reshuffle Menteri Keuangan dan pemangkasan suku bunga oleh Bank Indonesia (BI), perhatian utama pasar investasi akan tertuju pada peta fiskal 2026. Koordinasi yang solid antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia dinilai menjadi katalisator penting yang dapat semakin memperkuat IHSG.
Liza menjelaskan kepada Bisnis, yang dikutip Minggu (21/9/2025), bahwa pasar akan mencermati detail ukuran stimulus, target defisit anggaran, serta mekanisme penyaluran dan implementasinya. Hal ini penting untuk memastikan kebijakan tersebut tidak mengikis kredibilitas fiskal negara, sekaligus memberikan kepastian bagi investasi.
Selain itu, para pelaku pasar juga dengan antusias menantikan realisasi transfer dana negara sebesar Rp200 triliun dari bank sentral ke bank-bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Transmisi dana ini hingga ke sektor riil menjadi indikator penting bagaimana kebijakan moneter mampu memberikan dampak nyata pada pertumbuhan ekonomi dan laba perusahaan.
Liza menambahkan bahwa kebijakan tersebut tidak boleh hanya sekadar perpindahan pos pengelola dana. Diperlukan pemantauan dampak yang cermat terhadap Net Interest Margin (NIM), Loan to Deposit Ratio (LDR), serta suku bunga kredit untuk mengukur efektivitasnya secara menyeluruh.
Katalis positif lainnya yang diperkirakan akan memacu penguatan IHSG adalah efek dari pemangkasan suku bunga The Fed. Kebijakan ini berpotensi membawa arus capital inflow yang signifikan ke emerging market seperti Indonesia. Liza menilai, dukungan valuasi asing ke pasar saham akan semakin kuat sejalan dengan kebijakan moneter Bank Indonesia yang juga konsisten memangkas suku bunga.
Data perdagangan pada Jumat (19/9/2025) membuktikan hal tersebut, di mana penguatan IHSG didorong oleh aliran modal asing yang masuk deras ke pasar saham dengan catatan net buy mencapai Rp2,86 triliun. Secara mingguan, periode 15-19 September, net buy asing tercatat mencapai Rp3,03 triliun, berbanding terbalik dengan pekan sebelumnya yang mencatatkan net sell sebesar Rp6,59 triliun.
Liza juga menekankan bahwa pasar akan mengamati secara ketat kinerja keuangan kuartal III dan kuartal IV 2025 pada emiten-emiten yang sensitif terhadap suku bunga. Ini akan menjadi bukti konkret apakah pelonggaran moneter benar-benar dapat memberikan dampak positif pada fundamental perusahaan.
Mempertimbangkan beragam faktor pendorong ini, Liza melihat adanya ruang bagi IHSG untuk melanjutkan tren pertumbuhan positif. Terlebih lagi, The Fed telah memberikan sinyal bahwa akan ada dua kali pemangkasan suku bunga lagi hingga akhir tahun ini, menambah optimisme di pasar investasi global.
“Sentimen positif ini dapat terus berlanjut jika narasi pemangkasan suku bunga berkelanjutan, ditambah dengan bukti konkret penyaluran likuiditas ke sektor kredit yang tercermin dalam data high-frequency,” pungkas Liza. Dalam jangka waktu tiga hingga enam bulan ke depan, rerating IHSG akan sangat membutuhkan kejelasan kebijakan fiskal 2026, bukti nyata dampak kebijakan pada penyaluran kredit dan laba perusahaan, serta komitmen terhadap disiplin fiskal. Tanpa prasyarat tersebut, Liza menilai bahwa efek dari reshuffle kabinet dan paket stimulus ekonomi 2025 akan tetap bersifat netral terhadap pergerakan IHSG.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.
Ringkasan
Meskipun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara historis cenderung melemah di bulan September atau dikenal sebagai “September Effect”, IHSG justru berhasil mencatat rekor tertinggi sepanjang masa (ATH) di angka 8.051 pada 19 September 2025. Pencapaian luar biasa ini didorong oleh pelonggaran moneter agresif, paket stimulus ekonomi pemerintah, dan langkah reshuffle kabinet.
Proyeksi ke depan menunjukkan bahwa pasar akan berfokus pada peta fiskal 2026, terutama detail stimulus dan mekanisme penyaluran dana Rp200 triliun dari bank sentral ke bank Himbara. Pemangkasan suku bunga oleh The Fed dan Bank Indonesia juga diperkirakan akan menarik arus modal asing yang signifikan. Keberlanjutan penguatan IHSG sangat bergantung pada bukti konkret penyaluran likuiditas ke sektor riil, kejelasan kebijakan fiskal 2026, serta komitmen terhadap disiplin fiskal.