Menanggapi gejolak ekonomi yang melanda Indonesia dalam beberapa pekan terakhir, Center of Economic and Law Studies (Celios) mengidentifikasi akar masalahnya sebagai akumulasi ketimpangan dan sistem perpajakan yang tidak adil. Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menegaskan urgensi untuk melakukan revisi total terhadap regulasi perpajakan yang saat ini dirasa membebani masyarakat luas.
Celios mendesak pemerintah agar segera mengatasi isu ketidakadilan pajak demi menciptakan ruang fiskal yang lebih luas tanpa harus menekan daya beli dan konsumsi masyarakat. Oleh karena itu, Bhima Yudhistira kembali menegaskan konsistensi Celios dalam mendorong implementasi pajak kekayaan (wealth tax). Selain itu, percepatan pengesahan RUU Perampasan Aset juga menjadi prioritas, diharapkan mampu memulihkan aset-aset hasil kejahatan ekonomi demi kepentingan negara, demikian disampaikan Bhima pada Sabtu, 6 September 2025.
Guna memberikan stimulus ekonomi yang signifikan, Celios juga merekomendasikan penurunan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 8 persen. Langkah ini diyakini akan menjadi dorongan langsung bagi pelaku UMKM serta kelompok masyarakat menengah-bawah, sekaligus memperkuat basis penerimaan negara yang lebih progresif dan efektif menahan pelemahan permintaan domestik.
Seluruh usulan tersebut terangkum dalam delapan poin tuntutan bertajuk “Reset Ekonomi Indonesia” yang secara resmi dirilis oleh lembaga penelitian tersebut. Melalui delapan kebijakan ini, Celios menyerukan kepada pemerintah untuk segera memulihkan kepercayaan publik, menyehatkan kondisi APBN, serta secara fundamental melindungi daya beli masyarakat dari tekanan ekonomi.
Menyoroti kondisi ekonomi Indonesia, Direktur Ekonomi Celios, Nailul Huda, menyoroti penurunan kelas menengah dan kegagalan penerimaan pajak sebagai indikator kuat perlunya penataan ulang ekonomi secara menyeluruh. Ia mengungkapkan, “Kelas menengah Indonesia menanggung beban besar dalam membayar pajak, namun sayangnya tidak merasakan manfaat sepadan dari kontribusi tersebut, mengakibatkan jumlahnya terus menurun.”
Di sisi lain, Direktur Keadilan Fiskal Celios, Media Wahyudi Askar, menekankan pentingnya transparansi laporan keuangan pejabat negara. Menurutnya, publikasi terbuka mengenai pajak yang dibayarkan oleh para pejabat merupakan wujud akuntabilitas, memungkinkan masyarakat untuk menilai kesesuaian antara kekayaan yang dimiliki dengan kewajiban perpajakan yang telah ditunaikan.
Media Wahyudi Askar lebih lanjut menggarisbawahi fenomena lonjakan kekayaan signifikan di antara pejabat negara dalam Kabinet Presiden Prabowo Subianto. Hal ini, imbuhnya, secara gamblang memperlihatkan dominasi kuat kalangan super kaya dalam struktur pemerintahan. “Median kekayaan menteri saat ini telah mencapai Rp 55,1 miliar, angka ini hampir 50 persen lebih tinggi dibandingkan kabinet sebelumnya,” jelasnya. Ia menambahkan, “Bahkan, median kekayaan Kabinet Prabowo-Gibran saat ini mencapai 671 kali lipat dari median kekayaan seluruh penduduk Indonesia, sebuah disparitas yang mencolok.”
Ringkasan
Center of Economic and Law Studies (Celios) mengidentifikasi gejolak ekonomi Indonesia berasal dari akumulasi ketimpangan dan sistem perpajakan yang tidak adil. Oleh karena itu, Celios mendesak pemerintah untuk merevisi total regulasi perpajakan demi menciptakan ruang fiskal yang lebih luas tanpa menekan daya beli masyarakat. Lembaga ini juga secara konsisten mendorong implementasi pajak kekayaan (wealth tax) dan percepatan pengesahan RUU Perampasan Aset.
Selain itu, Celios merekomendasikan penurunan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 8 persen untuk memberikan stimulus kepada UMKM dan kelompok masyarakat menengah-bawah. Usulan ini bertujuan untuk memulihkan kepercayaan publik, menyehatkan APBN, dan melindungi daya beli masyarakat dari tekanan ekonomi. Celios menyoroti beban pajak kelas menengah yang berat dan lonjakan kekayaan signifikan di kalangan pejabat negara sebagai indikator kuat perlunya penataan ulang ekonomi secara menyeluruh.