Burden Sharing BI: Independensi Bank Indonesia Terancam?

H Anhar

Jakarta, IDN Times – Kesepakatan burden sharing antara Bank Indonesia (BI) dan pemerintah kembali menuai sorotan tajam. Kebijakan ini dinilai berpotensi mengikis independensi BI sebagai bank sentral, yang esensinya adalah menjaga stabilitas moneter nasional tanpa terbebani oleh urusan fiskal pemerintah. Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, bahkan menegaskan bahwa skema pembagian beban ini justru melunturkan kewajiban pemerintah dalam menjaga kesehatan fiskal, serta berisiko mengalihkannya ke pundak BI.

Dalam konteks ini, burden sharing didefinisikan sebagai mekanisme pembagian beban pembiayaan di mana Bank Indonesia turut serta dalam pembelian Surat Berharga Negara (SBN) guna membantu pendanaan berbagai program pemerintah. Namun, Huda dengan tegas menyatakan, “Seharusnya sektor moneter yang dikelola BI tidak boleh melonggarkan kebijakan fiskal.”

Menurut Huda, pemerintah sejatinya memiliki opsi yang lebih bertanggung jawab dan mandiri untuk mengelola keuangannya, seperti melalui langkah-langkah penghematan dan realokasi anggaran. Melibatkan BI dalam pembiayaan fiskal, alih-alih mengandalkan efisiensi internal, dianggap sebagai jalan pintas yang merusak prinsip dasar pengelolaan negara.

Lebih lanjut, Nailul Huda menekankan bahwa pelibatan BI dalam skema burden sharing seharusnya hanya diizinkan dalam kondisi yang benar-benar darurat. Ia merujuk pada situasi pandemi COVID-19 sebagai contoh, di mana sektor swasta lumpuh dan bantuan langsung kepada masyarakat menjadi prioritas utama. “Kondisi saat ini sangat berbeda,” tegas Huda. “Sektor ekonomi masih bergerak aktif, dan pemerintah telah mengimplementasikan berbagai stimulus fiskal. Oleh karena itu, tidaklah tepat jika BI diminta untuk turut menanggung beban utang secara kolektif saat ini.”

Kekhawatiran terhadap implikasi burden sharing semakin memuncak seiring dengan potensi penggunaan dananya untuk membiayai program-program yang memiliki tingkat risiko tinggi. Contohnya adalah Kredit Modal Produktif (KMP) dan proyek-proyek perumahan. Program-program semacam ini, yang memiliki peluang kerugian besar, dianggap sebagai upaya pemerintah untuk secara tidak langsung mengalihkan risiko fiskalnya kepada Bank Indonesia.

Implikasi jangka panjang dari pembiayaan program berisiko tinggi melalui utang ini tidak bisa dianggap remeh. Huda memperingatkan, “Ketika program dengan risiko tinggi ini dibiayai dengan utang, maka risikonya bukan hanya saat ini, tetapi juga di masa depan.” Hal ini berpotensi meningkatkan pembayaran bunga utang secara signifikan, yang pada akhirnya akan mempersempit kapasitas fiskal pemerintah dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan ekonomi prorakyat yang berkelanjutan.

Di sisi lain, Bank Indonesia telah mengonfirmasi kesepakatannya untuk melanjutkan pembagian beban bunga utang, atau burden sharing, dengan pemerintah. Mekanisme ini akan membiayai penerbitan SBN yang dialokasikan untuk program-program prioritas pemerintah, khususnya Program Perumahan Rakyat dan Koperasi Desa Merah Putih. Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menjelaskan bahwa pembagian beban bunga dilakukan secara proporsional dari biaya bunga penerbitan SBN, setelah dikurangi pendapatan dari penempatan dana pemerintah di lembaga keuangan domestik.

Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk meringankan beban pembiayaan program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto. Ramdan merinci, “Dalam pelaksanaannya, pembagian beban dilakukan dalam bentuk pemberian tambahan bunga terhadap rekening pemerintah yang ada di BI, sejalan dengan peran BI sebagai pemegang kas pemerintah.” Ini menunjukkan bagaimana BI, dalam kapasitasnya, turut berkontribusi pada stabilitas fiskal negara.

Kebijakan burden sharing ini juga diklaim sejalan dengan landasan hukum yang kuat, yaitu Pasal 52 Undang-Undang Bank Indonesia Nomor 23 Tahun 1999, yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang P2SK juncto Pasal 22, serta selaras dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Selain itu, BI menegaskan bahwa besaran tambahan beban bunga yang diberikan tetap konsisten dengan kebijakan moneter, dengan tujuan utama menjaga stabilitas perekonomian. Dengan demikian, diharapkan tercipta ruang fiskal yang memadai untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus meringankan beban masyarakat.

Ringkasan

Kesepakatan burden sharing antara Bank Indonesia (BI) dan pemerintah kembali menjadi sorotan tajam karena dinilai berpotensi mengikis independensi BI. Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengkritik bahwa skema pembagian beban ini, di mana BI membeli Surat Berharga Negara (SBN) untuk membiayai program pemerintah, melunturkan kewajiban pemerintah dalam menjaga kesehatan fiskal. Huda berpendapat bahwa pelibatan BI seharusnya hanya dalam kondisi darurat dan khawatir dana digunakan untuk program berisiko tinggi, yang dapat mengalihkan risiko fiskal ke BI.

Di sisi lain, Bank Indonesia telah mengonfirmasi melanjutkan burden sharing untuk membiayai penerbitan SBN bagi program-program prioritas pemerintah seperti Program Perumahan Rakyat. Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menjelaskan bahwa mekanisme ini bertujuan meringankan beban pembiayaan program “Asta Cita”. BI menegaskan kebijakan ini sejalan dengan landasan hukum yang kuat dan konsisten dengan kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas ekonomi, menciptakan ruang fiskal, dan mendorong pertumbuhan.

Also Read

[addtoany]

Tags