Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2025 yang diklaim mencapai 5,12 persen telah memicu keraguan serius dari berbagai kalangan ekonom dan lembaga riset. Angka temuan BPS tersebut dinilai tidak selaras dengan realitas di lapangan, menimbulkan pertanyaan besar tentang kondisi sesungguhnya ekonomi Indonesia.
Center of Economic and Law Studies (Celios) secara tegas menyatakan bahwa manipulasi data adalah fenomena yang kerap terjadi di negara-negara dengan sistem komunis sosialis. Hal ini disebabkan oleh kontrol mutlak yang dimiliki negara-negara tersebut atas semua data. “Jika kasus manipulasi data ya negara-negara komunis sosialis yang memang negara mempunyai kendala atas semua data,” ujar Direktur Ekonomi Digital Celios, Nailul Huda, saat dihubungi pada Ahad, 10 Agustus 2025.
Nailul Huda menyoroti beberapa insiden di masa lalu sebagai bukti. Ia mencontohkan kasus manipulasi data di China pada tahun 2021 yang bahkan menyeret pimpinan Bank Dunia. Skandal tersebut melibatkan laporan Ease of Doing Business (EoDB) atau kemudahan berusaha yang diduga dimanipulasi demi kepentingan bisnis Tiongkok, sebagaimana terungkap dalam investigasi firma hukum Wilmerhale berjudul “Investigation of Data Irregularities in Doing Business 2018 and Doing Business 2020”. Selain itu, ia menduga Korea Utara juga kerap menutupi data ekonomi mereka karena tidak pernah diungkapkan ke publik. “Apakah ada manipulasi? Ya pasti ada karena mereka penguasa mutlak,” katanya.
Implikasi dari manipulasi data, menurut Nailul, sangat berbahaya bagi langkah-langkah pemangku kebijakan. Dengan mengotak-atik data agar terlihat lebih baik atau menyajikan temuan yang tidak sesuai realitas di lapangan, keputusan yang diambil akan menjadi tidak valid dan jauh dari sasaran. “Pengambilan keputusan kebijakan akan sangat jauh dari kata [valid],” tegas Nailul.
Sebelumnya, BPS memang melaporkan bahwa ekonomi Indonesia pada triwulan II 2025 tumbuh 5,12 persen secara tahunan, atau naik 4,04 persen dibandingkan triwulan I 2025. Namun, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto buru-buru membantah dugaan permainan data dari laporan tersebut. “Mana ada (permainan data),” ucap Airlangga kepada wartawan di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, pada Selasa, 5 Agustus 2025.
Celios Minta PBB Audit Laporan BPS
Ketidakpuasan Celios terhadap data pertumbuhan ekonomi tidak berhenti di sana. Lembaga ini secara resmi meminta Badan Statistik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengaudit data pertumbuhan ekonomi triwulan II 2025 yang dilaporkan BPS. Permintaan ini didasari indikasi kuat adanya perbedaan antara angka pertumbuhan 5,12 persen dan kondisi riil perekonomian di lapangan.
Permohonan penyelidikan tersebut disampaikan Celios melalui surat resmi kepada lembaga statistik PBB, yakni United Nations Statistics Division (UNSD) dan United Nations Statistical Commission. Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menjelaskan bahwa tujuan utama mereka adalah menjaga kredibilitas data BPS. Pasalnya, data tersebut selama ini menjadi rujukan vital bagi berbagai penelitian oleh lembaga akademis, analis perbankan, dunia usaha termasuk UMKM, serta masyarakat secara umum. “Surat yang dikirim ke PBB memuat permintaan untuk meninjau ulang data pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2025 yang sebesar 5,12 persen year-on-year,” jelas Bhima melalui keterangan resmi pada Jumat, 8 Agustus 2025.
Bhima memaparkan bahwa Celios telah meninjau kembali semua indikator ekonomi yang disampaikan BPS, salah satunya adalah data industri manufaktur. BPS melaporkan bahwa lapangan usaha industri pengolahan tumbuh 5,68 persen pada kuartal kedua 2025. Namun, Bhima menemukan fakta kontradiktif, di mana pada periode yang sama, aktivitas manufaktur yang diukur lewat Purchasing Manager’s Index (PMI) justru tercatat mengalami kontraksi.
Selain itu, porsi manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) juga terpantau rendah, yakni 18,67 persen pada triwulan II 2025, dibandingkan dengan 19,25 persen pada triwulan I 2025. Angka ini mengindikasikan terus terjadinya deindustrialisasi prematur. Bhima juga menyoroti peningkatan data pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan tekanan yang dialami industri padat karya akibat naiknya berbagai beban biaya. “Jadi apa dasarnya industri manufaktur bisa tumbuh 5,68 persen yoy? Data yang tidak sinkron tentu harus dijawab dengan transparansi,” ujar Bhima mempertanyakan.
Direktur Kebijakan Fiskal Celios, Media Wahyudi Askar, menambahkan bahwa jika benar terjadi tekanan institusional atau intervensi dalam penyusunan data oleh BPS, hal tersebut akan bertentangan dengan Fundamental Principles of Official Statistics yang telah diadopsi oleh Komisi Statistik PBB. Media menjelaskan bahwa data BPS bukan hanya masalah teknis, melainkan juga berdampak langsung terhadap kredibilitas internasional Indonesia dan kesejahteraan rakyat.
Ia menekankan bahwa data ekonomi yang tidak akurat, terlebih jika pertumbuhan ekonomi dilebih-lebihkan, dapat menyesatkan pengambilan kebijakan. “Bayangkan, dengan data yang tidak akurat, pemerintah bisa keliru menunda stimulus, subsidi, atau perlindungan sosial karena menganggap ekonomi baik-baik saja,” paparnya, menyoroti konsekuensi fatal dari data yang tidak valid.
Mengingat urgensi tersebut, Celios berharap badan statistik PBB segera menginvestigasi secara mendalam metode penghitungan PDB Indonesia pada triwulan II 2025. Lembaga penelitian ekonomi ini juga sangat berharap UNSD dan UN Statistical Commission mendorong pembentukan mekanisme peer-review yang melibatkan pakar independen, serta mendukung reformasi transparansi di tubuh BPS demi data ekonomi yang lebih akurat dan terpercaya di masa depan.
Pilihan Editor: Mengapa Utang Kereta Cepat Sulit Lunas
Ringkasan
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II 2025 sebesar 5,12 persen, namun angka ini memicu keraguan serius dari Center of Economic and Law Studies (Celios) dan kalangan ekonom lain yang menilai tidak selaras dengan realitas lapangan. Direktur Ekonomi Digital Celios, Nailul Huda, mengindikasikan adanya potensi manipulasi data yang dapat membahayakan pengambilan keputusan kebijakan. Meskipun demikian, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto membantah tudingan adanya permainan data tersebut.
Celios telah secara resmi meminta Badan Statistik PBB, yaitu United Nations Statistics Division (UNSD) dan United Nations Statistical Commission, untuk mengaudit data pertumbuhan ekonomi BPS pada triwulan II 2025. Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menyoroti sejumlah inkonsistensi, termasuk klaim pertumbuhan industri manufaktur BPS yang berlawanan dengan kontraksi Purchasing Manager’s Index (PMI) dan peningkatan PHK. Permintaan audit ini bertujuan untuk menjaga kredibilitas data BPS yang vital bagi berbagai penelitian dan pengambilan kebijakan.